Jumat, 22 April 2022

Tuhan, Terima Kasih Telah Mengajariku

 

Ada yang tenggelem ketika senja datang, mentari sore hari mulai redup terganti dengan rembulan bulan, awan putih kini tak terlihat kembali, begitupun lampu-lampu taman yang sekarang bersinar terang menghiasi gelapnya malam. Aku dan Rahmah berjalan-jalan menikmati segarnya udara, menghirup bebas oksigen serta mengindahkan pikiran dari penatnya kehidupan.

Kegiatan seperti ini  baru pertama kalinya, bukan karena tidak ada kerjaan ataupun daripada rebahan, melainkan terkadang jiwa perlu istirahat dengan cara lain, yaitu bersama istriku menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Pagi tadi, aku disibukkan dengan segala pekerjaan sampai-sampai tidak ada waktu bersama Rahmah, tentunya kehadiran suami sangatlah ditunggu olehnya karena dia tidak ingin ditinggal lama, ibarat tanah kering yang selalu menunggu kehadiran rintikan hujan untuk membasahinya.

Hamparan tanah luas terlapiskan rumput hijau menjadi tujuanku dan istriku untuk  beristirahat, beberapa orang menggelar tikar besar di bawah pohon rindang dan disamping gubuk kecil, bersenandau gurau sekaligus bertukar cerita, itulah pemandangan menawan yang sekarang aku lihat, indah dalam pandangan mata.

“Mas…! Bagaimana kalau kita istirahat di sana, sepertinya lebih seru dan asyik,” Ajak istriku sambil menunjuk tempat lapang disamping waduk kecil.

“Boleh Dek…! Ayok kita kesana, lagipula pemandangan di sana bagus dan asri, pun juga orangnya sedikit ,” Sahutku kepadanya.

Barang bawaan kita memang tidak banyak, hanya beberapa cemilan kecil, tiga sajadah dan tas yang berisi perlengkapan alat shalat. Waduknya sangat tenang, bersih dan menyejukkan pikiran, pohon apel tumbuh segar dari kejauhan dengan buahnya yang begitu banyak, dipetik bebas bagi siapa saja yang menginginkannya.

Aku melihat sekitar waduk untuk memastikan keadaan, menimalisir bahaya apabila datang tiba-tiba, namun sepertinya aman dan tidak akan terjadi apa-apa. Rahmah menggelar tiga sajadah untuk kita beristirahat, duduk kemudian meluruskan kaki yang penuh dengan kepenatan.

“Lihat itu mas…!! Ikan di waduk bermunculan, pada kecil-kecil dan lucu dehh..!!” Ujar Rahmah kegemasan melihat ikan berenang bebas dengan induknya. Aku tersenyum bahagia melihat Rahmah ceria, dia bisa mengaplikasikan hal seperti itu menjadi kebahagiaan bagi dirinya.

“Oh iya dek…!! Lucu-lucu mereka kayak kamu tuu. Apalagi tuu yang biru, persis sekali seperti adek, gemesnya!” Sahutku menghibur dirinya. Seorang suami tentunya akan senang dengan kebahagiaan istrinya, karena kecintaannya tidak bisa terukur oleh apapun. Rahmah adalah setiap alasan, setiap harapan dan setiap mimpi yang pernah aku miliki. Gumamku dalam hati.

“Adek tau nggak? Bahwasanya semua yang ada di muka bumi ini, apa yang kita lihat dan rasakan, semuanya bertasbih kepada Allah,” Tanyaku kepada Rahmah sambil membenarkan ujung kerudung birunya.

“Nggak tau mas! Bukannya yang bertasbih itu hanya manusia ya? Manusia bisa bertasbih, mengagungkan asma Allah dengan perkataannya. Bahkan adek berpikir, tidak bertasbih aja! Tahmid, takbir dan semuanya pun bisa dilakukan,” Jawab Rahmah sambil melihat mata bulatku. Aku sering bertanya tentang keajaiban dunia yang kusangkut pautkan dengan ayat alquran, karena bagiku sendiri, mendidik seorang istri haruslah berlandaskan ayat-ayat Al-quran dan hadist-hadist Rasulullah, agar keberlangsungan kehidupanku bersamanya selalu diberkahi oleh Allah.

“Segala ciptaan Tuhan di muka bumi ini bertasbih kepada-Nya, kita sebagai manusia tidak mengerti bahasa mereka, bahasa hewan maupun tumbuhan, bahkan seperti bumi, matahari, bulan dan lain-lain bertasbih kepada-Nya tanpa henti,” Jawabku kepadanya sambil membuka beberapa cemilan untuk dimakan.

“Kok bisa gitu Mas? Mas tau darimana?” Tanyanya sekali lagi.

“Allah berfirman dalam kitab suci dalam surat al-Jumuah ayat satu Dek, apa yang ada di langit dan apa yang di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah, Maha Raja, yang Maha Suci, Maha Bijaksana. Dari ayat ini, Allah telah menjelaskan secara konkret, bahwasanya segala apapun yang ada di langit dan di bumi senantiasa bertasbih, bahkan tidak hanya bertasbih, bisa jadi takbir, tahmid dan lain-lain. Adek tau nggak, bagaimana mereka mensyukuri nikmat Allah, kita ambil contoh dari tumbuhan?” Tanyaku kedua kali.

Rahmah makan beberapa cemilan keripik tempe sambil berpikir tentang pertanyaanku, menggaruk kepala sekali dan mengangkat tangan seakan tidak tau jawaban atas pertanyaanku. Terpampang wajah bingung sekaligus penasaran dengan jawabanku.

“Adek lihat itu pohon apel dengan buahnya yang lebat!” Tunjukku salah satu pohon disamping waduk.

“Iya! Adek lihat pohonnya, banyak buahnya juga.”

“Mereka hidup dan bernapas tentunya karena rahmat Tuhan. Lantas bagaimana mereka mensyukuri nikmat dari segala pemberian-Nya? Mereka berbuah dengan lebat kemudian kita petik dan makan, itu merupakan salah satu bentuk kesyukuran dari tumbuhan itu sendiri,” Jawabku sambil menyuapi Rahmah. Dia mengangguk setuju dengan jawabanku, melipat kaki menjadi sila dan menaruh kedua tangan di atas kakinya.

“Salah satu? Berarti banyak bentuk kesyukuran darinya Mas! Apa lagi bentuk kesyukuran dari tumbuhan tersebut? Soalnya, tadi Mas bilang salah satu,” Tanyanya sambil menyuapiku.

Aku menghela napas, “Sebenarnya banyak bentuk kesyukuran dari tumbuhan tersebut! Salah satu contohnya lagi, Allah telah memberikan makanan kepada mereka, berupa sinar matahari, air yang mengalir di tanah dan lain-lain, akhirnya mereka memproduksi itu semua dan menjadikannya oksigen bagi kita. Adek menghirupnya dengan bebas dan lega karena rahmat Tuhan dan bentuk kesyukuran mereka.”

“Oh gitu yaa Mas! baru tau soalnya, terkadang tuu Adek acuh aja, nggak mau tau tentang mereka, hanya menikmati kehidupan Adek, tanpa mendalami hikmah-hikmah yang ada dalam kehidupan Adek sendiri!” Jawabnya paham atas jawabanku.

Terlentang tidur mungkin asyik dalam pikiranku, memandang hamparan langit yang hitam kelam berselimuti sinar bintang dan bulan, gemuruh angin berseliwir kecil di antara rindangnya pohon-pohon. Aku melepas jaket dan memakaikannya kepada Rahmah, mungkin rasa dingin malam telah menusuk sampai kepada kulitnya, berusaha membuatnya hangat dengan segala upayaku.

Rahmah sangat menghargai segala perbuatanku, bukan karena segala pemberian melainkan rasa nyaman yang berawal dari kelakuan kecil dan usaha dalam memberikan ketentraman. Karena hakikat pasangan bukan kesempurnaan tetapi berusaha saling menyempurnakan.

“Mas, Lihat itu deh! Mereka sangat bahagia kayaknya,” Ujar Rahmah sambil menunjuk kepada dua pasangan diseberang waduk. Aku bangkit dari telentang dan melihat seorang laki-laki yang sangat antusias ketika pasangannya bercerita, tertawa lepas tanpa kendala, sepertinya cerita dari sang perempuan sangatlah seru karena membuat pendengarnya sangat menikmati.

“Tau nggak Dek! Kenapa laki-laki tersebut sangat antusias mendengar cerita dari pasangannya?” tanyaku kepada Rahmah. Dia tersenyum tipis mendengar pertanyaanku, memasang muka heran karena mungkin tidak masuk akal baginya.

“Bukannya dijawab, malah senyum-senyum sendiri,” Ujarku kedua kali kepadanya.

“Namanya juga pasangan Mas! Seorang perempuan hanya butuh pendengar atas apa yang ingin diceritakan atau dikeluh kesahkan, bukan butuh untuk disalah-salahkan. Apalagi mereka mungkin seorang pasangan suami istri, maka itu bentuk penghargaan seorang suami kepada istrinya,” Jawab Rahmah dengan nada datar.

“Dua insan yang menjalin hubungan dan telah menjadi pasangan merupakan salah satu hikmah dari penciptaan manusia,” Sahutku tiba-tiba.

“Maksudnya Mas? Adek nggak paham,” Tanyanya kepadaku. Aku kembali terlentang dan meletakkan kedua telapak tangan di bawah kepala, namun kini kuajak Rahmah melakukan seperti apa yang aku lakukan, sambil memandang luasnya hamparan langit yang dihiasi oleh bintang-bintang dan sinar lembut rembulan.

“Allah mempunyai maksud dan tujuan atas penciptaan manusia, tentu maksud penciptaannya yaitu untuk beribadah kepada-Nya, tetapi tujuannya yaitu untuk saling mengenal satu sama lain, entah laki-laki sama laki-laki atau saling berlawanan jenis,” Jawabku menjelaskan kepada Rahmah.

“Sepertinya Adek pernah mendengar Mas jelasin ayat yang berkaitan dengan itu, tapi Adek lupa!” Ujarnya.

“Allah berfirman dalam surat al-Hujurat ayat tiga belas Dek! Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Gimana Adek sudah ingat kembali?” Tanyaku sambil bangkit dari terlentang.

“Alhamdulillah Mas, Adek sudah ingat,” Ujarnya kepadaku sambil bangkit juga.

“Ngomong-ngomong, kenapa Mas mengajak Adek kesini, bukannya lebih suka ke tempat yang lebih umum, seperti mall, bioskop, restoran dan lain-lain?” tanyanya kepadaku.

“Mas hari ini sangat capek, banyak kerjaan tadi di kantor, pikiran Mas sangat penat, perlu refreshing sambil tadabur alam. Lagipula, salah satu hobi Mas tuu kayak gini Dek! Bengong sambil ngeliatin keadaan alam sekitar.”

Rahmah Tertawa atas jawabanku, “Kok bisa gitu, punya hobi kok bengong. Biasanya sih, laki-laki tuu hobinya main futsal, main basket dan lain-lain gitu,” Ujar Rahmah kepadaku. Aku meluruskan kaki Rahmah sambil memijitnya pelan-pelan, tersenyum sendiri seperti orang gila jalanan.

“Dek…! Apa yang kamu sebutin itu wajar. Maksudnya, sebagian daripada laki-laki menyukai itu, tetapi itu hobi raga bukan jiwa. Adek pasti tau, keduanya itu berbeda, raga disehatkan dengan cara berolahraga, namun jiwa disehatkan dengan pengajian, tadabur alam, shalat malam dan sebagainya. Mas saat ini penatnya lebih kepada jiwa bukan raga,” Ujarku kepada Rahmah.

“Maafin Adek! Adek nggak tau keadaan Mas saat ini,” pinta maaf kepadaku. Aku pindah posisi ke belakang Rahmah untuk memijat bahunya, karena aku yakin pasti hari ini dia sangat capek mengurus segala kebutuhan rumah demi kenyamananku tinggal bersamanya.

“Adek nggak salah kok! Ngapain juga minta maaf? Rasulullah sangat sayang kepada istrinya, dicintai dengan penuh ketulusan dan kasih sayang, beliau merupakan panutan Mas, sudah sebaiknya mencontoh kepada hal-hal baik, salah satunya yaitu perempuan tidak pernah salah,” Sahutku kepadanya masih memijat pelan-pelan.

“Rasulullah pernah bersabda Mas, beliau pernah ditanyakan perihal perempuan!” Ucap Rahmah sambil menunjuk bagian yang ingin dipijat.

“Apa sabda beliau dek?” Tanyaku kepadanya.

“Siapakah wanita yang paling baik? Beliau menjawab, yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami ketika diperintah dan tidak menyelisih suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suaminya benci.”

Aku terdiam sejenak, menghentikan pijatan dan pindah tempat duduk didepan Rahmah, memegang kedua tangannya sambil kutatap wajah cantiknya yang berseri-seri, kucium keningnya penuh dengan ketulusan dan dia memejamkan mata.

Aku melihat kelopak matanya yang kini telah terbuka, “Sesungguhnya Dek! Sabda Rasulullah telah ada bersamamu, Rahmah merupakan perempuan baik, selalu menyenangkan hati Mas, pun juga selalu mentaati segala permintaan Mas sendiri, Adek bagaikan kepala putik di dalam mawar merah merona yang tidak pernah bisa dipisahkan oleh serbu sari, selalu ada ketika dibutuhkan” Sahutku kepadanya.

“Alhamdulillah kalau begitu, Adek sampai sekarang masih mendapat ridha suami, karena dari ridhanya, keberkahan hidup adek akan selalu mengalir. Terima kasih yaa Mas!” Ucap Rahmah senang mendengar ucapanku.

“Adek kedinginan?” tanyaku kepadanya.

“Iya Mas! Hayuk kita pulang, kaki Adek nggak kuat menahan dinginnya malam.”

“Yaudah kita balik sekarang saja. Lagipula sekarang dah malam, nggak baik bagi kesehatan.” Waktu telah menunjukkan pukul tujuh, hawa dingin makin menusuk dalam tubuh. Banyak pembelajaran yang bisa aku ambil dari munajat alam, semuanya terlukis indah dalam ciptaan Tuhan, tiada sia-sia melainkan penuh dengan hikmah. Terima kasih istriku karena telah mengajariku arti penghargaan, sesungguhnya suamimu ini penuh dengan kekurangan tetapi hanya ketulusan yang bisa aku berikan, kapanpun dan dimanapun. Gumamku dalam hati.